Warga Tolak Galian Tanah Merah Ilegal Di Pagintungan, Ancam Gelar Aksi Besar jika Tambang Tak Dihentikan
 
                                justice-post.com
Serang-Banten/ Aktivitas galian tanah merah yang baru dibuka di Desa Pagintungan, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, menuai gelombang penolakan dari warga. Masyarakat dua RT terdampak langsung, yakni RT 17 dan RT 18 Kampung Cikasantren Sabrang Wetan, mengaku tak pernah diberi izin atau pemberitahuan atas aktivitas tersebut.
Warga menilai, selain tak berizin secara legal, pihak tambang juga tidak pernah memberi kompensasi apa pun kepada warga yang terdampak. Bahkan, ketika warga melakukan aksi penghentian langsung pada Kamis (24/7), pihak tambang berdalih bahwa kegiatan tersebut hanya pengambilan "sampel tanah"—meski truk pengangkut tanah terlihat hilir mudik dalam jumlah besar.
“Masa ambil sampel sampai puluhan mobil? Itu jelas pembohongan,” kata Abah Sakmin, tokoh masyarakat setempat. Ia mengaku kesal karena warga sama sekali tidak dilibatkan atau diberi informasi sebelum aktivitas tambang dimulai.
Ketua RT 17, Abah Usman, menyatakan bahwa masyarakat telah bosan dengan janji-janji kompensasi yang tak pernah ditepati. Kali ini, mereka tidak meminta uang, tetapi penutupan penuh terhadap tambang tanah merah.
“Jangan bodohi warga dengan iming-iming kompensasi. Masyarakat cuma ingin tambang ditutup. Itu saja,” tegasnya.
Pemuda Ancam Aksi Lebih Besar dan Pertanyakan Diamnya Penegak Hukum
Penolakan warga kini mendapat dukungan penuh dari kalangan pemuda. Jemi dan Amsar, dua tokoh pemuda Kampung Cikasantren, menyampaikan ultimatum bahwa mereka akan menggelar aksi yang lebih besar apabila tambang tetap beroperasi tanpa izin warga maupun pemerintah.
“Kalau mereka bersikukuh menambang tanpa izin dan tetap merusak lingkungan, kami akan bawa aksi ke kantor kecamatan. Seluruh warga RT 17 dan 18 siap turun tangan,” tegas Jemi.
Lebih jauh, mereka juga mempertanyakan sikap aparat penegak hukum yang hingga kini terkesan diam meskipun diduga mengetahui bahwa aktivitas tambang tersebut tidak memiliki izin.
“Kami heran kenapa penegak hukum diam saja. Mereka tahu ini tambang ilegal, tapi tidak ada tindakan. Ada apa?” ujar Amsar dengan nada kecewa.
Kompensasi Galian Pasir Pernah Ada, tapi Dinilai Tidak Transparan
Sebagai catatan, wilayah yang sama sebelumnya menjadi lokasi tambang pasir. Warga menyebut bahwa selama galian pasir berlangsung, mereka hanya menerima bantuan material—pasir, semen, dan keramik—untuk pembangunan musala. Tidak ada kompensasi uang yang diterima langsung oleh masyarakat.
Terkait itu, Darja alias Rombeng, yang disebut sebagai koordinator desa, mengakui bahwa dulu sempat ada kompensasi sebesar Rp 20 juta per bulan dari perusahaan tambang. Namun sejak adanya pergantian pemilik tambang, dana itu tidak lagi diterima pihak desa.
“Sekarang katanya langsung ke masyarakat,” ujar Darja singkat.
Namun, versi berbeda disampaikan Toni, perwakilan perusahaan tambang. Menurutnya, kompensasi masih tetap diberikan, meski tidak sebesar dulu.
“Kalau nanti diminta keterangan resmi, saya siap menjelaskan,” ucap Toni.
Konflik pernyataan antara pihak desa dan perusahaan memperkuat kecurigaan warga bahwa kompensasi selama ini tidak transparan dan berpotensi disalahgunakan.
Kini warga menuntut: Penutupan tambang tanah merah yang dinilai ilegal.Evaluasi menyeluruh terhadap semua aktivitas galian.
Keterlibatan penegak hukum untuk menindak dugaan pelanggaran izin dan pengelolaan dana kompensasi
Mereka menyatakan tidak akan tinggal diam dan siap melakukan aksi lebih besar jika tuntutan mereka diabaikan.
Red.
 
                        
 Rary123
                                    Rary123                                 
            
             
            
             
            
             
            
             
            
             
            
            









 
            
             
            
             
            
             
            
            